Sabtu, 11 Juni 2011

Mandiri tanpa Subsidi


Menuju Masyarakat Ekonomi Methanol Indonesia
Oleh: Jaya Wahono, Penggagas Masyarakat Ekonomi Methanol Indonesia

Diantara Dua Pilihan Sulit
Dengan terus meningginya harga minyak mentah di pasaran dunia, pemerintah kita mulai mengambil langkah pengamanan stok bahan bakar bersubsidi di dalam negri. Salah satunya adalah dengan bentuk himbauan agar masyarakat mampu tidak mengkonsumsi BBM bersubsidi yang ditujukan kepada masyarakat tidak mampu dan transportasi publik. Banyak kalangan mengkritik bahwa langkah tersebut tidak akan efektif. Pada kuartal pertama (I/2011) ini saja, realisasi BBM subsidi sudah mencapai 30 persen. Diperkirakan hingga akhir tahun, realisasi BBM subsidi akan melebihi dari target anggaran Rp40 triliun dalam APBN. Meningkatnya kuota penyaluran ini karena telah terjadi peralihan konsumen dari Pertamax yang sedang melonjak tinggi ke premium.
Selain terjadi kondisi “salah sasaran” seperti diatas, subsidi BBM juga berpotensi untuk menimbulkan berbagai persoalan baru yaitu menyebabkan maraknya penyelundupan BBM ke luar negri dan menghambat kelayakan keekonomian pembangunan infrastruktur angkutan umum terutama di kota besar seperti Jakarta yang ujungnya menyebabkan kemacetan yang sangat parah. Kementerian Perekonomian menghitung, kemacetan lalu lintas di Jakarta telah menghabiskan biaya lebih dari Rp 27 triliun per tahunnya. Hitungan itu diungkap Sutanto Soehodo, Deputi Gubernur DKI Bidang Transportasi, dalam diskusi Problematika dan Solusi Efektif Mengatasi Kemacetan Jakarta maret lalu. "Biaya itu meliputi biaya operasional kendaraan sebesar Rp 17,2 triliun dan pemborosan bahan bakar minyak senilai Rp 10 triliun," kata Sutanto. Peneliti Bappenas, Hananto Nugroho lebih lanjut juga mengemukakan bahwa problema subsidi BBM yang berkelanjutan adalah akibat “Ciri pola konsumsi energi nasional kita yang (i) terlalu tergantung pada BBM, (ii) tidak mencerminkan kekayaan sumberdaya energi yang kita miliki, dan (iii) sangat terlambat dalam mengembangkan sumber-sumber energi non-BBM. Sudah jelas, mensubsidi BBM bukan suatu pilihan yang ideal bagi bangsa dan negara ini karena dampaknya baik jangka pendek maupun panjang akan berakibat fatal bagi APBN. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan swasta dalam mengatasi hal tersebut. Apakah pilihan memang cuma dua yaitu: 1. Mempertahankan subsidi BBM dengan resiko defisit APBN membengkak atau 2. Melepas subsidi BBM baik serentak maupun bertahap dengan resiko yang dapat menyebabkan gejolak ekonomi dan sosial seiring dengan tidak menentunya harga BBM di masa depan karena harga minyak dunia yang fluktuatif. Dua pilihan yang berat memang tapi sebenarnya ada pilihan ketiga apabila masyarakat mulai berpikir “Out of the Box”.

The Third Way, the Indonesian Way
Indonesia mempunyai cadangan gas sejumlah 159 TCSF dan saat ini memproduksi sekitar 3.2 TSCF per tahun. Suatu jumlah yang cukup besar dan berpotensi untuk menjadikan Indonesia, dengan penduduk 240 juta orang tidak hanya sebagai salah satu produsen tetapi juga konsumen gas alam terbesar di dunia. Hanya saja kejadiannya di dalam negri bicara lain, Indonesia lebih bertumpu pada minyak bumi untuk konsumsi bahan bakar dalam negri dimana produksinya sendiri tidak mencukupi kebutuhan domestiknya sedangkan gas alamnya lebih banyak diekspor. Kondisi ini tentunya “tidak mencerminkan kekayaan sumberdaya energi yang kita miliki”, seperti yang diutarakan peneliti Bappenas diatas. Tentu saja ada alasannya kenapa gas alam kita tidak diprioritaskan untuk konsumsi dalam negri yaitu karena infrastruktur distribusi dan penyimpanan yang belum tersedia dan pembangunannya akan membutuhkan investasi yang tidak kecil. Peningkatan produksi bahan bakar gas dan solid (batubara) dalam negri saja tidak akan menyelesaikan persoalan logistik dalam pemenuhan kebutuhan energi di kepulauan terpencil, misalnya. Sehingga pada akhirnya, Indonesia masih akan bergantung pada impor minyak mentah ketika produksi minyak mentah dalam negri menurun dan subsidi bahan bakar cair untuk transportasi dan pembangkit listrik dalam negri sulit untuk dihilangkan.
Persoalan ini tentunya tidak terselesaikan apabila kita berpatokan bahwa sumber energi dalam bentuk gas harus dikonsumsi dalam bentuk gas juga. Padahal Teknologi untuk mengkonversi gas alam menjadi bahan bakar cair sudah banyak dilakukan di berbagai negara di dunia yaitu dengan mengubahnya menjadi Methanol. Methanol dan produk turunannya bukan saja merupakan bahan bakar cair serbaguna yang bisa digunakan di berbagai aplikasi yaitu motor bakar bensin, mesin diesel, turbin gas dan bahkan “Fuel Cell” sebuah mesin pembangkit listrik masa depan yang ramah lingkungan. Selain itu Methanol juga dapat dijadikan bahan baku industri petrokimia, industri pupuk dan bahkan bahan baku pembuatan sejenis pakan ternak yang dalam bahasa teknis disebut sebagai SCP (Single Cell Protein).
Karakter fisik Methanol yang berbentuk cair tentunya membuat jenis sumber energi ini akan lebih mudah dipindahkan, disimpan dan diubah menjadi bentuk energi lainnya (seperti Hydrogen) dibanding gas dan batubara. Jadi kesimpulannya, Indonesia sebagai negara kepulauan akan memiliki tantangan yang berat apabila tidak mempunyai kemandirian dalam penyediaan bahan bakar cairnya .

Mengenal Methanol Lebih Dekat
Methanol (CH3OH) adalah bentuk paling sederhana dari alkohol. Sejarah produksi Methanol berasal dari ekstraksi kayu/tumbuhan, sehingga pada awalnya sering juga disebut “wood alcohol”. Setelah itu manusia mulai mengembangkan produksi Methanol dengan bahan baku batu bara dan gas alam dengan menggunakan proses synthetic gas yaitu mencampurkan gas CO dengan H2. Seperti sudah disebutkan diatas, Methanol dapat digunakan sebagai bahan bakar pada mesin konvensional maupun Fuel Cell. Selain itu, Dimetil eter/DME (produk turunan Methanol) dapat mengganti bahan bakar solar. Dimetil eter memiliki bilangan cetan yang lebih tinggi dari pada solar dan lebih aman untuk digunakan. DME juga sudah sering digunakan sebagai campuran dalam LPG atau bahkan secara murni (100% DME) dapat digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga untuk memasak.
Metanol sebagai bahan bakar fuel cell akan sangat efektif untuk menggantikan hidrogen. Metanol jauh lebih aman dibandingkan hidrogen. Hidrogen yang berbentuk gas membutuhkan tekanan yang tinggi agar menjadi cair dan berbahaya jika terjadi kebocoran pada tangkinya. Sedangkan metanol karena bersifat cair pada tekanan dan temperatur kamar tidak membutuhkan tekanan tinggi untuk penyimpanannya. Namun demikian, efisiensi penggunaan metanol pada fuel cell masih lebih rendah dibandingkan hidrogen karena adanya metanol yang menembus elektrolit dan terbuang percuma tanpa bereaksi. Karena alasan tersebut, penggunaan metanol pada fuel cell untuk mesin kendaraan belum dilakukan secara masal.
Kebutuhan dunia atas Methanol dan produk turunannya diprediksi tidak akan pernah menurun karena Methanol juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri petrokimia antara lain untuk memproduksi Formaldehyde dan MTBE (zat aditif dalam BBM) China sebagai produsen dan konsumen Methanol terbesar di dunia diprediksi akan mengkonsumsi sekitar 12 juta ton Methanol setiap tahun dengan estimasi pertumbuhan permintaan mencapai 16% per tahun. BP memprediksi bahwa DME akan merupakan bahan bakar utama untuk transportasi di negara berkembang seperti India dan China. Pasar DME yang saat ini berkisar 1.2 juta ton per tahun diprediksi akan menjadi 400 juta ton per tahun di tahun 2020.

Masyarakat Ekonomi Methanol Indonesia
Untuk mendukung penggunaan Methanol secara meluas di Indonesia tidak bisa hanya didorong dari sisi “supply”nya saja tetapi yang lebih penting harus ditarik juga dari sisi “demand”nya. Konsumen energi di Indonesia perlu disadarkan bahwa ada alternatif lain untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negri baik itu untuk transportasi, memasak ataupun pembangkitan listrik. Apabila pemerintah dan masyarakat Indonesia menyadari betapa pentingnya energi alternatif yang dapat diproduksi dan dipakai secara menyeluruh tidak hanya di pusat-pusat ekonomi tetapi juga di berbagai pelosok hingga kepulauan terpencil, Methanol sangat layak menjadi pertimbangan.
Apabila subsidi untuk bahan bakar minyak dan listrik yang nilainya saat ini sudah mencapai kurang lebih Rp. 150 trilyun dapat dialihkan sebagian kecil saja untuk membangun fasilitas produksi, distribusi, penyimpanan dan modifikasi pada peralatan penggunanya tentunya bangsa Indonesia bisa mulai berpikir untuk membangun bangsa yang mempunyai kemandirian di bidang energi, industri dan pangan di masa depan karena bahan bakunya melimpah di negri ini dan teknologinyapun sudah kita kuasai. Disamping itu, Masyarakat Indonesia secara umum baik industri maupun rumah tangga akan mendapatkan layanan kebutuhan energi dengan harga yang terjangkau tanpa memerlukan subsidi lagi. Alokasi subsidi tersebut pada gilirannya nanti dapat dipakai untuk membangun infrastruktur angkutan umum yang lebih baik sehingga masyarakat kelas menengah dan bawah dapat diberdayakan kemampuan ekonominya dan menjadi mesin penggerak ekonomi masa depan.
Untuk itu Masyarakat Ekonomi Methanol Indonesia tidak diarahkan sebagai masyarakat elitis tetapi diharapkan menjadi “grassroot movement” dimana berbagai unsur masyarakat dapat berpartisipasi penuh dalam aspek produksi, distribusi hingga konsumsinya sehingga meningkatkan ketahanan nasional di bidang ekonomi, sosial dan politik. Suatu utopia mungkin, akan tetapi inilah saatnya bangsa dan negara ini berpikir bagaimana caranya memanfaatkan sumber daya alamnya dengan lebih pandai untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai amanah Undang-undang Dasar 45 kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar